Wakil Ketua Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI Farouk Muhammad meminta pemerintah segera
melakukan langkah antisipatif dan kebijakan yang integratif untuk segera
menurunkan harga dan biaya komoditas yang disebabkan kenaikan harga BBM
pada akhir tahun lalu.
"Penyesuaian dua kali harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah
ternyata belum mampu mengembalikan harga seperti sediakala. Padahal,
pada saat yang bersamaan pemerintah juga telah menyesuaikan kembali
harga elpiji 12 kilogram dan harga semen," kata Farouk melalui siaran
pers yang diterima, Rabu (21/1/2015).
Untuk itu, Presiden Joko
Widodo meminta semua kepala daerah segera merespons kembali turunnya
harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar. Ia berharap
penurunan harga BBM itu nantinya akan berimbas pada turunnya harga
kebutuhan pokok masyarakat.
Hal itu disampaikan Presiden Jokowi
saat mengumumkan penurunan harga BBM di Kompleks Istana Kepresidenan,
Jumat (16/1/2015). Akhirnya, diputuskan, tepat pukul 00.00 WIB tanggal
19 Januari 2015, harga BBM jenis premium turun menjadi Rp 6.600 per
liter dan jenis solar Rp 6.400 per liter. Selain menyesuaikan harga BBM,
pemerintah juga menurunkan harga penjualan elpiji 12 kilogram dan
semen.
"Pada realitasnya bisa dirasakan bahwa kenaikan harga BBM
telah memicu kenaikan seluruh bahan makanan pokok, termasuk
transportasi. Permasalahannya ketika saat ini pemerintah menyesuaikan
kembali harga BBM, ternyata harga-harga bahan kebutuhan pokok tidak
otomatis turun," papar Farouk.
Anggota DPD dari Nusa Tenggara
Barat (NTB) ini juga memberikan saran, perlu kebijakan khusus dan
konsistensi dari pemerintah untuk mengembalikan ke harga semula.
Pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi dan mencari solusi bersama
dengan dunia industri maupun para pemangku kepentingan untuk menyiasati
perubahan harga BBM secara terus-menerus, mengingat pemerintah akan
menyerahkan harga BBM pada mekanisme pasar. Terlebih lagi, dunia bisnis
dan industri butuh kepastian.
"Proses perumusan sebuah kebijakan
di pihak eksekutif sebaiknya dipertimbangkan dengan sangat baik dan
saksama karena sesungguhnya yang paling akan merasakan dampak langsung
adalah masyarakat lapisan bawah. Selain itu, kenaikan beragam komoditas
pada realitasnya di tingkat daerah terjadi cukup tajam. Hal itu terjadi
karena adanya keterbatasan fasilitas produksi dan kelemahan
infrastruktur logistik daerah-daerah," kata Farouk.
Menurut
pengamatan Guru Besar PTIK ini, telah terjadi banyak perubahan dan
proses yang tidak optimal dalam implementasi pengalihan subsidi energi.
Hal ini terjadi kerena kebijakan pemerintah yang sangat strategis selama
hampir tiga bulan terakhir ini minim proses check and balance dengan pihak legislatif.
"Semestinya
kebijakan penarikan subsidi melalui pembangunan infrastruktur dan
bantuan langsung dapat memberi indikasi awal dan dampak sosial ekonomi
dengan adanya penyesuaian harga BBM," kata Farouk.
Sebagai
informasi, pada akhir tahun 2014, pemerintah menaikkan harga BBM
bersubsidi dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500. Kenaikan sebesar Rp 2.000
tersebut telah memicu kenaikan inflasi sebesar 2-3 persen selama bulan
Desember. Tak berapa lama, komoditas elpiji 12 kg juga mengalami
kenaikan sehingga inflasi secara nasional akhir tahun 2014 meningkat
menjadi 8,36 persen. Namun, kini disebabkan tren harga minyak dan gas
(migas) di tingkat global mengalami penurunan, pemerintah kemudian
mengoreksi kebijakan energinya.
Sumber : KOMPAS.com